Bisnis

2.228.000 Wajib Pajak Sudah Lapor SPT Tahunan

2.228.000 Wajib Pajak Sudah Lapor SPT Tahunan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat terdapat 2.228.000 wajib pajak orang pribadi yang sudah melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan hingga 6 Februari 2023.

“Untuk SPT orang pribadi mencapai 2.228.000 untuk orang pribadi. Sementara badan 84.500 yang sudah lapor per 6 Februari,” Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, DJP, Neilmaldrin Noor dalam Podcast Cermati, Kamis (9/2).
Menurut Neil, angka tersebut naik secara signifikan bila bandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu. Untuk pelaporan SPT orang pribadi naik 36 persen, sementara pelaporan SPT badan naik 29 persen.
“Ini lebih baik, kelihatannya ada peningkatan awareness dari masyarakat,” terang dia.
Lebih lanjut, Neil mengimbau wajib pajak untuk segera melaporkan SPT sebelum 31 Maret untuk orang pribadi dan 30 April untuk badan. Jika melewati batas waktu tersebut, DJP akan mengenakan sanksi berupa kepada para wajib pajak.
“Sesuai dengan UU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) ini kenakan sanksi Rp 100 ribu untuk orang pribadi, wajib pajak badan kenakan Rp 1 juta,” ungkap Neil.
“Ini lumayan loh Rp 100 ribu mending buat beli kopi,” imbuhnya.
Adapun, ketentuan mengenai denda bagi wajib pajak yang tidak melaporkan SPT tahunan sampai dengan batas waktu yang ditentukan diatur dalam UU No. 28 Tahun 2007 Pasal 7 Ayat (1) dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Berikut denda untuk keterlambatan pelaporan SPT:

  • Denda Rp 100.000 untuk wajib pajak pribadi (NPWP pribadi)
  • Denda Rp 1.000.000 untuk wajib pajak badan
  • Denda Rp 500.000 untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
  • Denda Rp 100.000 untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya.
Wajib pajak yang terlambat melaporkan SPT Tahunan akan diberikan Surat Tagihan Pajak (STP) berisi pemberitahuan denda Pasal 7 KUP. Pembayaran tagihan tersebut bisa dilakukan secara daring melalui website pajak.go.id.

Pengertian BPHTB, Tarif, dan Subjek-Objek Pajaknya

Berdasarkan pasal 1 angka 41 Undang-Undang (UU) 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan. Sedangkan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan.
BPHTB sebelumnya merupakan jenis pajak pusat, namun setelah adanya UU No.28 Tahun 2009 berubah menjadi pajak daerah. Menurut situs resmi Kemenkeu, hal ini dilakukan sebagai upaya pemerintah dalam mempercepat dan mengembangkan pertumbuhan ekonomi di daerah.

Tarif BPHTB

Dalam proses jual beli properti, BPHTB biasa disebut dengan pajak pembeli. Pembeli akan dikenakan pajak BPHTB yang besaran biayanya hampir serupa dengan PPh bagi penjual.
Tarifnya sendiri mencapai 5% dari harga jual rumah kurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Rumusnya adalah sebagai berikut:

Tarif Pajak 5% x Dasar Pengenaan Pajak (NPOP-NPOPTKP)

Besaran NPOPTKP di setiap daerah bervariasi, namun berdasarkan UU No. 28 tahun 2009 pasal 87 ayat 4. Jumlah minimum untuk setiap wajib pajak adalah Rp60.000.000.

Subjek dan Objek BPHTB

Merujuk buku Seluk Beluk Perpajakan Indonesia oleh Dra. Mujiyati dan Drs. M. Abdul Aris, subjek yang kenakan pajak BPHTB adalah sebagai berikut:
  • Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.
  • Subjek BPHTB yang kenakan kewajiban membayar BPHTB menurut perundang-undangan perpajakan yang menjadi Wajib Pajak.
Sementara itu, objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Berikut beberapa yang termasuk objek BPHTB berdasarkan pasal 85 UU No.28 Tahun 2009:
  • Jual beli;
  • Tukar-menukar;
  • Hibah;
  • Wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia;
  • Waris;
  • Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yaitu pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau bada kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut;
  • Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan. yaitu pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama;
  • Penunjukan pembeli dalam lelang, yaitu penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang:
  • Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Yaitu adanya peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak. Kepada pihak yang tentukan dalam putusan hakim tersebut;
  • Penggabungan usaha, yaitu penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang bergabung.